Perang Dagang di Balik Kampanye Hitam Terhadap Sawit

25 Januari 2018 16:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Kelapa Sawit (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Kelapa Sawit (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
Sawit Indonesia tengah diterpa berbagai kampanye hitam. Yang teranyar, Uni Eropa (UE) dan Amerika Serikat (AS) menuding produsen biodiesel sawit Indonesia melakukan dumping.
ADVERTISEMENT
AS juga menuduh biodiesel sawit asal Indonesia disubsidi sehingga harganya jadi lebih murah dibanding harga biodiesel berbahan baku kedelai buatan AS. AS pun mengenakan tarif anti dumping untuk biodiesel Indonesia yang masuk ke negaranya.
Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), Paulus Tjakrawan, mengatakan sudah sejak lama AS dan UE menyerang sawit Indonesia. Dia menelusuri, upaya itu sudah dilakukan sejak tahun 70-an.
"Alasan ketidaksukaan mereka dikemukakan secara bertahap. Tahun 70-an sampai 80-an mereka mengatakan sawit tidak sehat. Padahal semua minyak nabati yang dihasilkan sama baik dan sama buruknya, mulai dari soy oil, coconut oil, rapeseed oil, hingga peanuts oil," katanya kepada kumparan (kumparan.com), Kamis (25/1).
Pada 1990-an, lanjut Paulus, mereka menuduh sawit sebagai perusak hutan. Tidak cukup sampai di situ, tahun 2000-an mereka menyebut pembuatan biodiesel tidak cukup untuk mengurangi emisi. Ditambah, mereka juga menuduh sawit perusak lahan gambut.
ADVERTISEMENT
Berbagai macam tuduhan terus bermunculan. Pada 2012, UE juga menuduh Indonesia memberi subsidi untuk ekspor sawit. "Pada 2014 mereka juga menuduh kita melakukan dumping. Aduan dumping dan subsidi juga datang dari AS," ujar Paulus.
Rentetan tuduhan miring pada sawit Indonesia ini membuat heran Paulus dan pengusaha sawit lainnya. Dia menyimpulkan ada motif perang dagang di balik serangan-serangan tersebut.
Menurutnya, minyak nabati buatan AS dan UE tak bisa bersaing dengan minyak sawit Indonesia. Maka dibuat isu-isu negatif untuk menjegal sawit. "Karena minyak makan mereka (seperti minyak kedelai, minyak bunga matahari) sangat tersaingi oleh sawit yang jauh lebih produktif," katanya.
Paulus menerangkan, setiap hektare lahan sawit bisa menghasilkan 4 ton minyak nabati per tahunnya. Sedangkan minyak kedelai hanya 0,5 ton per hektare per tahun, sedangkan rapeseed yang hanya mampu produksi 0,8 ton per hektare per tahun.
ADVERTISEMENT
Tingginya produktivitas ini membuat harga sawit jadi jauh lebih murah dibanding minyak nabati lainnya. "Harga sawit selalu sekitar 100-150 euro per ton lebih rendah dari rapeseed. Kalau untuk soy oil, sawit lebih murah sekitar USD 70 per tonnya," bebernya.
Selain tuduhan-tuduhan yang sudah disebutkan, saat ini Indonesia juga tengah menghadapi putusan Parlemen Uni Eropa yang akan menghentikan penggunaan biodiesel dari minyak kelapa sawit pada 2021. Menurutnya, ultimatum itu diskriminatif sebab untuk bahan baku minyak nabati yang lainnya baru dilarang pada 2030.
"Ini jelas diskriminatif. Ada apa ini?" tutupnya.