BPJS Kesehatan Pernah Untung di 2014 dan Wacana Pajak Dosa

7 September 2018 18:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan ternyata pernah memiliki kinerja keuangan positif. Pada tahun 2014, atau awal berdiri, BPJS Kesehatan mencatat laba bersih Rp 1,11 triliun (audited). Cemerlangnya kinerja di 2014 karena didukung pendapatan investasi sebesar Rp 1,33 triliun.
ADVERTISEMENT
Kinerja keuangan yang positif tidak berlangsung pada tahun berikutnya. BPJS Kesehatan kemudian mencatat kinerja keuangan negatif. Penerimaan iuran dan juga pendapatan hasil investasi tidak bisa lagi menutupi tingginya biaya operasional penyelenggaraan program jaminan kesehatan.
Secara berturut turut, BPJS Kesehatan dalam laporan keuangan yang sudah diaudit merugi Rp 4,6 triliun (2015), Rp 6,59 triliun (2016), dan terakhir rugi Rp 183,37 miliar (2017).
Opsi menyelamatkan BPJS Kesehatan pun bergulir. Setidaknya ada 3 opsi yang disepakati yakni penyesuaian iuran mengikuti perhitungan aktuaria, menyesuaikan/mengurangi manfaat layanan, dan suntikan dana APBN.
Presiden Joko Widodo memutuskan opsi ketigalah yang diambil. Meski opsi ini diambil, proses pencairannya tidak bisa dilakukan dengan cepat. BPJS Kesehatan pun melakukan berbagai langkah, seperti mengatur standar layanan dan mencoba penerapan rujukan online.
ADVERTISEMENT
Ada juga ide memanfaatkan sins tax atau pajak dosa yang dipungut dari cukai rokok dan minuman beralkohol (minol). Sins tax ini telah dipakai membantu pembiayaan jaminan sosial di Filipina dan Thailand karena dianggap berdampak buruk terhadap kesehatan sehingga pajaknya (cukai) harus dikembalikan.
Berikut ini hasil wawancara kumparan dengan Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris.
BPJS Kesehatan (Foto: Sabryna Putri Muviola/kumparan)
Bagaimana BPJS Kesehatan bisa untung di 2014, kemudian rugi pada tahun berikutnya?
Saya luruskan dulu, audit sudah dilakukan semua. Saya mau menjelaskan kepada masyarakat BPJS itu transformasi dari badan hukum negara menjadi badan hukum publik.
Tentu saat transformasi ada harta benda dari badan Hukum Negara ke badan Hukum Publik, itu yang kita kenal sebagai bukunya badan penyelenggara, ada aset yang dibawa kemudian aset itu dikembangkan untuk investasi, pada bersamaan ada account jaminan sosial.
ADVERTISEMENT
Account jaminan sosial tidak mungkin, apa namanya, memiliki hasil investasi yang signifikan. Karena itu tadi, dari sisi iuran saja sudah mismatch. Tidak mencukupi. Pada saat bersamaan, pararel, kami punya investasi badan. Investasi badan ini tahun 2014 awal, kami masih punya dan hasilnya cukup besar, itu Rp 1,2 triliun.
Itu kemudian dananya kami dedikasikan untuk membantu program. Kemudian dalam perjalannya, ada aset badan yang berkurang karena PP yang terbit memerintahkan, tadi kita punya sapi nih, susunya diberikan nih kepada peserta, kemudian sapinya dipinjam dan dipotong untuk menutup lagi, lambat laun, sapinya dipotong maka sapinya akan berkurang.
Kalau dikatakan dari investasi badan, investasinya makin berkurang karena sapinya makin kurus ini karena membantu. Awalnya susunya membantu kemudian dagingnya mulai diambil. Itu gambaran secara umum.
ADVERTISEMENT
Masyarakat perlu pahami, program ini adalah program nirlaba. Kalaupun ada hasil investasi, hasil investasi itu untuk menutup mismatch atau yang kedua hasil investasi itu kemudian untuk meningkatkan service berikutnya kalau ada kelebihan.
Adakah angka ideal untuk proporsi investasi dan iuran?
Kita batasi dulu pembicaraannya. Kita mau bicara investasi sebagai badan yang sebetulnya hasilnya untuk biaya operasional. Biaya operasional itu bagaimana pun kita, mesin ini perlu bekerja. Ada karyawan, ada gedung fasilitas, kemudian ada biaya operasional yang sumbernya dari investasi untuk menggerakkan ini.
Sebetulnya sebelum era ini. Biaya operasional itu berdasarkan uang yang kita punya untuk bayar gaji karyawan, beli bensin, operasional, kemudian kalau kita mengadakan pertemuan. Itu mesti dibedakan.
ADVERTISEMENT
Tapi dari sini kita juga menghasilkan yield yang cukup bagus di awal-awal. Yield itu atas perintah regulatif kemudian didedikasikan memberikan service di masyarakat. Itu berjalan. Itu sapinya waktu itu masih gemuk.
Di 2015, mismatch-nya makin lebar. Karena kalau kita bicara iuran yang tidak sesuai, makin banyak peserta tentu makin melebar. Disitu memang daging sapinya mulai diambilin. Otomatis susunya makin kecil juga.
Terkait peraturan direktur layanan terhadap penyesuaian pelayanan BPJS, apakah karena terjadi mismatch?
Ini sebetulnya prosesnya Juni itu ujungnya. Prosesnya sudah lama. Saya ingat persis di Oktober 2016, Presiden mengadakan sidang kabinet terbatas untuk melihat program jangka panjang. Kemudian kami menyampaikan beberapa angka dan skenario yang bisa terjadi karena mismatch ini.
ADVERTISEMENT
Kemudian di sini dilihat, sisinya 3 tuh. Satu sisi tentang iuran, kedua itu sisi apakah ada manfaatnya masih bisa diatur tapi tidak mengurangi dan menghilangkan. Atau yang ketiga kaitannya dengan suntikan dana tambahan.
Kaitan yang kedua ini sebetulnya merupakan resultan saja, sebetulnya pekerjaan utama adalah memastikan pelayanan yang diberikan sesuai dengan indikasi medik dan prosedur. Memastikan itu sebetulnya jangan sampai nanti ada layanan yang menimbulkan indikasi fraud.
Dirut BPJS Kesehatan, Fachmi Idris, Rabu (5/9). (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Peraturan ini sebetulnya tidak mengurangi manfaat, apalagi menghilangkan. Hanya pengaturan manfaat kemudian kita sampaikan. Satu pengaturan tentang layanan bayi lahir normal. Ini bukan sesuatu yang baru sebetulnya. Ini sudah kami lakukan sejak lama saat PT Askes sampai 2016 bahwa kalau melayani ibu bersalin dan bayinya normal, kami bayar satu paket pelayanan seksio.
ADVERTISEMENT
Nanti manajemen rumah sakit yang mengatur, jasa berapa, jasa dokter anak berapa. Jadi tidak ada kesan bayinya tidak ditangani dokter anak. Ini soal pengaturan manajemen dokter anak.
Nanti kalau bayinya satu package rawat, ada masalah, perlu sumber daya khusus, pelayanan khusus, perlu spesialis anak yang berkaitan. Kalau lahir normal, tentu ada skema pembayaran lain. Kami ingin jelaskan seperti ini.
Awalnya teman-teman profesi memahami, kemudian fisioterapi misalnya. Kita melihat dalam pelayanan ini tentu kita bicara dengan dokter SPKR. Kita bicara ini seperti apa.
Teman kedokteran fisik dan rehabilitasi datang ke sini dan saya ingat yang terima menyampaikan angka-angka yang perlu lihat bersama. Apa betul orang harus setiap hari fisioterapi. Apa sebaiknya kita dalam penanganan ini menggunakan kaidah medik yang didiagnosis oleh dokter fisioterapi. Kalau tidak ada kemampuan fisioterapi, teman-teman di situ akan mengampu kemampuan fisioterapi. Kalau mereka, data itu di-treatment sesuai kebutuhan medis. Kalau kebutuhan mediknya lebih dari 8 kali sebulan. Kita bisa bicarakan.
ADVERTISEMENT
Kemudian operasi katarak, kita lihat kok ada angka utilisasi yang tinggi, kita kan ingin mengontrol angka utilisasi yang tinggi ini. Kita ingin penjadwalan lebih baik lah.
Pemerintah sudah menerima Laporan BPKP, bagaimana Komunikasi BPJS dan Pemerintah terkait penanganan defisit?
Pertanyaannya menarik ya, bagaimana komunikasi BPJS dengan pemerintah. BPJS dan pemerintah itu adalah satu kesatuan sebetulnya. BPJS itu organ pemerintah yang menjalankan fungsi pemerintahannya untuk memajukan kesejahteraan masyarakat umum karena ini.
Jadi sesungguhnya apa yang kemarin dijalankan dalam internal pemerintahan itu memastikan bahwa apa yang akan dilakukan oleh pemerintah itu melalui tata kelola yang baik. Itu saja tujuannya. Jadi BPKP diminta me-review permasalah di Hulu. Kemudian secara bersama-sama sudah kami prediksi ya.
ADVERTISEMENT
Jadi setiap tahun itu, pemerintah, Kementerian Keuangan, Kementerian Kesehatan, BPJS Kesehatan kemudian ada lagi organ pemerintahan yaitu Dewan Jaminan Sosial Nasional. Itu seperti sekarang 2018, bulan Agustus-September membicarakan anggaran kerja tahun berikutnya.
Di situ kita sudah menghitung berapa potensi pendapatan, penerimaan kita. Berapa prediksi pengeluaran. Prinsip yang kita lakukan itu prinsip anggaran berimbang. Pemasukan (pendapatan) dan pengeluaran itu balance, itu prinsip yang digunakan di pemerintahan.
Untuk menciptakan kesimbangan itu ada 1, tentu yang paling ideal menggunakan pendekatan aktuaria, yaitu iuran yang masuk dan pengeluaran kita hitung. Sebenarnya kalkulasi matematisnya sangat sederhana.
Artinya, pengeluaran utilisasi rata-rata pemanfaatan program ini oleh masyarakat dikali unit cost yang menjadi tarif di pelayanan kesehatan. Yang kita hitung itu iuran idealnya berapa. Itu yang paling ideal, itu pendekatan aktuarial.
ADVERTISEMENT
Kalau kita menggunakan itu memang kondisi iuran saat ini belum ideal. Banyak pertimbangan kenapa kita belum menyesuaikan iuran dengan hitungan aktuaria murni. Bapak Presiden mengingatkan jangan sampai membebani masyarakat dengan mengenakan iuran yang dihitung secara akademik seperti itu adanya.
Tahun 2015, iuran untuk masyarakat miskin tidak mampu idealnya Rp 36.000 per orang. Tapi kemudian diputuskan Rp 23.000 per orang per kepala. Ada pertimbangan fiskal di situ.
Kemudian masyarakat umum misalnya, untuk pekerja non formal kelas 3 itu hitungan aktuarianya Rp 53.000. Tapi diputuskan Rp 25.500. Menjadi ideal itu artinya masih ada gap sebesar Rp 27.500.
Kemudian kelas dua, itu idealnya Rp 63.000. Tapi diputuskan iuran dari masyarakat mampu non formal itu Rp 51.000. Artinya ada gap sebesar Rp 13.000. Hanya kelas 1 yang masih sesuai dengan hitungan akademik, hitungan aktuarial itu Rp 80.000 dan itu yang diputuskan Rp 80.000. Itu perhitungan tahun 2015.
BPJS Kesehatan (Foto: Sabryna Putri Muviola/kumparan)
Ada perintah sebetulnya dari regulator setiap 2 tahun dihitung. Nah pak Presiden melihat daya beli masyarakat dan lain-lain, jangan dulu melakukan pendekatan itu. Jadi itu pertama yang kita lihat. Menuju keseimbangan itu kalau iurannya disesuaikan.
ADVERTISEMENT
Kedua adalah manfaat pelayanan. Apakah manfaat pelayanan ini kemudian bisa dirasionalkan, dikurangi? Itu pun tidak menjadi pilihan. Pilihan untuk menghilangkan, pilihan untuk mengurangi manfaat yang sudah dirasakan masyarakat itu tidak menjadi opsi.
Opsi ketiga lah yang diambil untuk mengatasi anggaran berimbang ini. Opsinya adalah suntikan dana APBN. Nah sekarang ini yang ramai.
Sebetulnya Kementerian Keuangan, DJSN, kita tahun 2017 akhir. Itu sudah melihat adanya mismatch ini. Berapa pendapatan dan berapa pengeluaran setiap tahun, kita prediksi bersama.
Kemudian dari situ kita menyusun. Pada saat di bulan ini, prediksi itu terbukti. Untuk meyakinkan kalau prediksi itu tidak meragukan dalam mengeluarkan dana suntikan tambahan. Dilakukan review terlebih dahulu oleh BPKP.
Bagaimana kinerja keuangan negara yang menjadi benchmark, apa mereka membutuhkan dukungan pemerintah?
ADVERTISEMENT
Prinsip dasar actuarial soundness. Artinya iuran dihitung berdasarkan kalkulasi akademik yang berpikirnya jangka panjang karena ini bukan program 1-2 hari. Program ini dihitung 15-20 tahun. Itu prinsip dasar. Di situ pasti ada isu financial sustainability atau keberlanjutan finansial. Karena inflasi sektor kesehatan ini lebih tinggi dari inflasi barang jasa pada umumnya. Tidak mungkin pelayanan itu statis. Teknologi itu berkembang.
Kemudian yang kedua, karakter masyarakat dalam konteks perilaku. Dalam konteks fisikal itu berubah, tentu ada aging society. Usia harapan hidup semakin panjang. Tentu butuh pelayanan long term care atau pelayanan jangka panjang untuk usia-usia tua. Kemudian kita bicara juga tentang exposure lingkungan yang juga berubah jadi pasti akan ada tantangan baru. Tantangan baru itu tentunya harus disikapi dalam penataan pembiayaan. Di dalam penataan pembiayaan ada sharing lain.
ADVERTISEMENT
Di samping iuran, ada sharing lain contohnya Filipina. Sins tax itu betul-betul diterapkan dengan baik. Itu pajak dosa seperti cukai rokok. Cukai rokok secara umum kita ingin sampaikan bahwa contoh sederhananya dana reboisasi itu sebetulnya sins tax ya. Orang menebang pohon uangnya dikumpulkan, ditanam pohon lagi. Dikembalikan untuk tanam. Itu cukai rokok untuk mengatasi masalah kesehatan.
Di Filipina itu, sins tax-nya bukan hanya cukai rokok, ada cukai minuman keras. Saya enggak tahu juga, Filipina juga memasukkan cukai kasino. Apa ini karena masalah kesehatan mental. Tapi paling tidak kita melihat di Filipina itu 60-70 persen dikembalikan ke kesehatan.
Kalau kita bicara Thailand lebih maju lagi. Angkanya hampir mendekati 100 persen. Semua cukai rokok itu dikembalikan untuk program kesehatan. Karena itu harmful. Karena setiap barang yang harmful untuk kesehatan, itu kemudian harus dikembalikan untuk mengatasi masalah-masalah di situ.
ADVERTISEMENT
Adakah pembicaraan ke Ibu Sri Mulyani tentang skema pembiayaan seperti Filipina dan Thailand?
Discuss ini sebetulnya bukan hanya dengan bu Sri Mulyani. Kami bicara dengan semua pihak. Menurut saya teman-teman dari kesehatan sudah bicara jauh hari ya tentang framework convention to be control. Ini sebetulnya isu global yang kemudian menjadi agenda global.
Ratifikasi FCTC ini kemudian semua negara menerapkan karena isu kesehatan termasuk isu hak asasi yang perlu diperhatikan. Sudah ada sinyal bagus saat kami bicara bauran kebijakan mengatasi mismatch ini. Sudah ada pembicaraan pemanfaatan cukai rokok. Sudah bicara pajak atas cukai rokok jadi suasana itu sudah mulai terbentuk.