Sejarah Terukir di PHPU 2024

Rizky Ramadhan
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Konten dari Pengguna
27 April 2024 21:42 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizky Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pembacaan putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Nomor 1/PHPU.PRES-XXII/2024 dan 2/PHPU.PRES-XXII/2024 menjadi babak baru sekaligus sebagai pertanda berakhirnya Pemilihan Presiden 2024. Pilpres tahun ini dapat dikatakan lebih hiruk pikuk atau problematik dibanding Pilpres yang pernah dilaksanakan sebelumnya, seperti yang dikatakan Hakim Konstitusi Arief Hidayat pada saat sidang PHPU berlangsung. Bukan tak beralasan, Pilpres tahun ini dianggap lebih problematik dikarenakan adanya dugaan cawe-cawe Presiden untuk memenangkan salah satu paslon hingga adanya pelanggaran etik di kubu Mahkamah Konstitusi itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, gejolak pengujian PHPU Pilpres di MK juga diwarnai beberapa hal. Dimulai dari pemanggilan empat Mentri sekaligus antara lain Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhdjir Effendy, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan Menteri Sosial Tri Rismaharini. selanjutnya adanya Amicus Curiae Mantan Presiden Indonesia Megawati Soekarnoputri, dan yang paling anyar terdapatnya dissenting opinion untuk pertama kalinya dalam sejarah PHPU Pilpres. Tiga hakim tersebut ialah Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Enny Nurbaningsih.
Dissenting Opinion
Sumber foto: mkri.id
Sebelum melangkah mengulas isi dari dissenting opinion ada sebuah catatan penting yang perlu kita perhatikan dari isi putusan yaitu kedelapan hakim yang memeriksa persidangan memiliki satu pandangan yang sama bahwa wewenang MK dalam menguji hasil Pemilihan Umum tidak hanya terbatas pada angka tetapi lebih daripada itu yakni memastikan prosesnya berlangsung secara Luber dan Jurdil. MK menganggap untuk mewujudkan keadilan substansial maka MK tidak boleh dikunci kewenangannya hanya memeriksa hasil dalam bentuk angka, hal ini sama saja dengan menderogasi amanah konstitusi yang diberikan kepada MK. Oleh karena itu, putusan ini mengakhiri perdebatan antara kewenangan Bawaslu dan MK serta menjadi preseden bagi MK untuk PHPU kedepannya.
ADVERTISEMENT
Saldi Isra dalam dissenting opinion nya menekankan adanya penyaluran dana bantuan sosial yang dialokasikan oleh anggaran negara yang dijadikan alat untuk memenangkan Pasangan Calon nomor urut 2. Kampanye terselubung tersebut disinyalir berdampak signifikan terhadap penambahan suara terhadap Paslon tersebut. Menurut Wakil Ketua MK tersebut, hal yang menjadi masalah besar dalam konteks ini ialah sumber dana untuk kampanye itu berasal, dimana semestinya keuangan negara digunakan untuk kepentingan umum dan kemakmuran rakyat (Pasal 23 Ayat (1) UUD 1945) bukan untuk segelintir kelompok.
Selanjutnya dalam pendapat berbedanya, Enny Nurbaningsih lebih menekankan adanya mobilisasi dan ketidaknetralan oleh Pj Kepala Daerah. Dimana ia memetakan kecurangan tersebut telah terjadi di Kalimantan Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara. Dimana dugaan ini diperkuat dengan temuan dan laporan Bawaslu. Ia berpendapat hal ini telah melanggar prinsip jujur dan adil yang terdapat dalam Pasal 22E Ayat (1) dikarenakan tindakan tersebut sama saja telah memanipulasi celah hukum Pemilu yang ada.
ADVERTISEMENT
Terakhir sebagai penutup putusan, Arief Hidayat dalam dissenting opinion nya berpendapat bahwasannya dikarenakan terjadi pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif yang telah mencederai keadilan Pemilu (electoral justice) maka untuk memulihkannya perlu diadakan pemungutan suara ulang di beberapa wilayah yang dianggap telah terjadi pelanggaran. Pemungutan tersebut dilakukan selama 60 hari sejak putusan diucapkan. Selanjutnya ia memberikan solusi untuk tidak perlu diadakannya pemilihan putaran kedua atau cukup berdasarkan perolehan suara terbanyak saja agar tidak menganggu agenda ketatanegaraan yang ada.
Legitimasi Pasangan Calon
Sumber foto: bbc.com
Bila ditelisik lebih dalam, terdapat sebuah alasan mengapa selama ini putusan PHPU Pilpres tidak pernah terdapat dissenting opinion. Mahfud MD selaku mantan Ketua MK berpendapat tidak pernah adanya dissenting opinion dikarenakan hakim biasanya berembuk terlebih dahulu sebelum mengeluarkan putusan atau disebut dengan Rapat Pemusyawaratan Hakim (RPH). Rapat atau sidang ini dilaksanakan secara tertutup untuk membahas dan memutus PHPU Presiden dan Wakil Presiden yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya sebanyak tujuh hakim. Menurut Mahfud MD, tidak dianjurkannya ada perbedaan pendapat karena menyangkut jabatan yang akan diemban oleh Paslon terpilih kedepannya.
ADVERTISEMENT
Harus dipahami bahwa dissenting opinion merupakan sebuah bentuk pertanggungjawaban moril dari hakim dan wujud transparansi agar masyarakat tahu apa yang terjadi di balik putusan tersebut, walaupun pada akhirnya perbedaan tersebut tidak mempengaruhi amar putusan. Adanya dissenting opinion ini menunjukkan bahwasannya perbedaan pendapat itu benar-benar tidak dapat ditoleransi oleh ketiga hakim tersebut. Pada akhirnya hal ini menodai legitimasi hasil Pemilihan Presiden 2024. Hal ini tentu menjadi beban moril tersendiri bagi Paslon terpilih.
Legitimasi bukan hanya mengacu pada hukum formal tetapi juga norma-norma etis yang ada di masyarakat, tentunya tak terkecuali bagaimana pandangan masyarakat terhadap dissenting opinion dalam putusan MK tersebut. Legitimasi seorang pejabat sangat amat krusial sebab menentukan lancarnya jalan pemerintahan dan stabilitas politik. Sebab berbicara legitimasi artinya kita membahas tentang dukungan masyarakat pada pemeritanhan yang ada. Tanpa dukungan masyarakat maka pemerintah akan sulit dalam menjalankan kebijakannya.
ADVERTISEMENT
Amicus Curiae Dipertimbangkan
Sumber foto: bloombergtechnoz.com
Untuk pertama kalinya pula Amicus Curiae dimasukkan dalam pertimbangan putusan PHPU. Amicus Curiae atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan Sahabat Pengadilan merupakan tindakan pihak ketiga untuk terlibat dalam persidangan untuk memberikan pandangannya. Hal ini menjadi sarana bagi hakim untuk mendapatkan klarifikasi fakta maupun prinsip-prinsip hukum sebab hakim berkewajiban untuk menggali nilai-nilai hukum dan rasa keadilan di masyarakat.
Unumnya konsep ini dilakukan pada negara dengan sistem hukum common law. Pada tahun ini total terdapat 33 Amicus Curiae yang teregister di MK. Masuknya sahabat pengadilan ini ke dalam pertimbangan putusan merupakan langkah yang progresif dan mencerminkan bahwa MK memperhatikan bagaimana pandangan masyarakat dan tidak berpaku pada pihak yang berpekara. Amicus Curiae menjadi penting dalam hal untuk memberikan kesadaran bagi hakim untul lebih aware terhadap pandangan masyarakat melihat suatu kasus.
ADVERTISEMENT
Coat Tail Effect
Sumber foto: rumahpemilu.org
Satu hal lagi yang menarik dibahas dari Pemilu 2024 yakni bagaimana PDIP keluar sebagai partai dengan perolehan suara terbesar dengan angka 25.387.279 (16,72 persen) dalam Pemilihan Legislatif, sedangkan di satu sisi Paslon yang diusungnya yakni Ganjar-Mafud memiliki presentase suara yang terkecil yakni 27.040.878 suara (16,47 persen) dalam pemilihan Presiden. Pada umumnya efek elektoral Calon Presiden atau Calon Wakil Presiden berpengaruh terhadap partainya ataupun sebaliknya, hal ini dikenal dengan efek ekor jas atau coat tail effect.
Fenomena atau anomali yang terjadi ini menunjukkan bahwa teori tersebut runtuh dan tidak berlaku. Teori ini tidak berjalan disinyalir menandakan tidak sehatnya demokrasi yang berlangsung di Pemilu 2024. Segenap pelanggaran yang disampaikan dalam dissenting opinion seperti politisasi bansos dan mobilisasi Pj Kepala Daerah adalah bukti bahwa hal itu telah mempengaruhi hasil yang ada. Sekiranya ketidakjalanan Coat Tail Effect ini menjadi indikasi bahwa Pemilu 2024 tidak baik-baik saja.
ADVERTISEMENT