Hustle Culture di Dunia Kerja: Produktif atau Toxic?

Azzah Farahiyah Anwar
Saya adalah mahasiswi Universitas Airlangga Fakultas Kedokteran Program Studi Kebidanan angkatan tahun 2022
Konten dari Pengguna
16 Mei 2023 11:44 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Azzah Farahiyah Anwar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi karyawan kecapekan kerja. Foto: Creativa Images/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi karyawan kecapekan kerja. Foto: Creativa Images/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sekarang ini, hustle culture merupakan hal yang sering diperbincangkan terutama di dunia kerja. Istilah ini dikenalkan pertama kali oleh Wayne Oates di dalam bukunya “Confessions of a workaholic: The facts about work addiction” pada tahun 1971. Dengan kata lain istilah tersebut mengacu pada budaya “gila kerja”.
ADVERTISEMENT
Di mana orang tersebut dituntut untuk bekerja dengan keras guna mencapai kesuksesan, kekayaan dan kemakmuran secepat mungkin. Dengan begitu, orang tersebut merasa bahwa dirinya berharga selama mereka produktif. Selain itu, biasanya juga akan muncul kepuasan dan pemikiran bahwa dirinya akan sukses dengan melakukan hal tersebut.
Namun, apakah anda sudah benar-benar paham apa yang dimaksud hustle culture? Bagaimana pola kerjanya? Apakah budaya tersebut membuat kita terlihat lebih keren? Atau malah toxic bagi kita?
Yuk, simak artikel opini ini lebih lanjut!

Apa yang Dimaksud Hustle Culture?

Ilustrasi karyawan kecapekan kerja. Foto: CrizzyStudio/Shutterstock
Dikutip dari channel YouTube Satu Persen-Indonesian Life School, hustle culture adalah obsesi ekstrim dan berlebihan untuk menjadi “produktif”.
Dengan kata lain bisa diartikan sebagai keadaan bekerja terlalu keras yang mendorong pelakunya untuk melampaui batas kemampuan dirinya yang akhirnya menjadi sebuah kebiasaan atau workaholism.
ADVERTISEMENT
Yang ada di pikiran mereka hanyalah kerja, kerja dan kerja. Sehingga tidak ada waktu untuk kehidupan pribadi maupun sosial. Pada akhirnya work life balance mereka akan terganggu.

Ciri-ciri Hustle Culture

Ilustrasi kerja. Foto: Mallika Home Studio/Shutterstock
Mereka yang menganut hustle culture sering kali tidak menyadari hal tersebut. Karena mereka telah menormalisasi hal itu dan secara tidak langsung menjadikannya sebagai sebuah kebiasaan.
Biasanya, di antara orang yang menormalisasi hustle culture adalah orang dewasa dalam usia kerja, mahasiswa yang terlalu sibuk menyelesaikan tugas kuliah dan organisasi, bahkan para siswa yang akan melewati masa ujian.
Lalu, seperti apa ciri-ciri hustle culture?
ADVERTISEMENT
Hustler ini juga biasanya cenderung untuk bergerak lebih cepat dan agresif. Tidak hanya itu, mereka juga memiliki sifat yang perfeksionis, mereka akan memastikan bahwa apa yang dikerjakan selesai dengan sempurna.
Kebanyakan dari mereka juga memiliki hubungan yang kurang baik dengan teman sejawatnya karena mereka menganggap bahwa rekan kerjanya sebagai kompetitif. Maksud dari kompetitif yang dimaksud di sini adalah kompetitif yang kurang sehat. Mereka akan melakukan cara apa pun supaya lebih unggul dari teman-temannya.
Sayangnya, tidak sedikit orang yang menganggap bahwa hustle culture adalah suatu kebiasaan yang baik. Mereka beranggapan bahwa hustle culture merupakan sebuah persaingan yang harus diperjuangkan untuk mencapai kesuksesan.
Ilustrasi Lembur Foto: Thinkstock
Ada juga yang beranggapan bahwa hal tersebut bisa menjadi motivasi hidup. Ada juga yang mengatakan bahwa hal tersebut adalah suatu yang baik karena mampu meningkatkan kehidupan diri sendiri dan orang di sekitarnya.
ADVERTISEMENT
Namun, jika dilihat dari pola kerjanya, jelas sekali bahwa hustle culture ini sejatinya tidak sehat. Selain mengganggu work life balance, hal tersebut juga bisa berdampak buruk bagi kesehatan mental dan fisik orang tersebut.
Seperti kurang tidur, tidak memiliki quality time untuk diri sendiri dan orang-orang terdekatnya, yang justru dapat memicu meningkatnya risiko penyakit, stres dan depresi.

Perlukah Menerapkan Hustle Culture sebagai Gaya Hidup?

Ilustrasi kerja. Foto: Makistock/Shutterstock
Mengangkat dari Media Indonesia (2021), diketahui rata-rata jam kerja mingguan di Indonesia pada tahun 2016 adalah 41,79 jam dan pada tahun 2020 mengalami penurunan menjadi 40,28 jam.
Sayangnya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2021) masih banyak pekerja di Indonesia yang melebihi jam kerja per minggunya. Padahal sejatinya, pemerintah Indonesia telah memberikan batasan jam kerja yang tertulis di dalam UU No.13 Tahun 2003 dalam pasal 77 sampai 85 tentang ketenagakerjaan dan PP No.35 Tahun 2021 dalam pasal 21 sampai 25 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja.
ADVERTISEMENT
Bagi beberapa individu, menjadi sibuk menjadi sebuah pilihan. Karena jika terus-menerus berada dalam kesibukan, otak akan terus bergerak dan digunakan untuk memikirkan hal yang sedang dikerjakan.
Sehingga tidak ada waktu untuk memikirkan hal yang tidak perlu dipikirkan. Mereka tidak mau terlarut dalam kesedihan dengan cara menjadi sibuk dan produktif.
Ilustrasi Orang Sibuk. Foto: kumparan
Pada dasarnya, tidak ada yang salah dengan menjadi seorang yang “sibuk”. Tentu terdapat kepuasan tersendiri ketika kita berhasil menyelesaikan suatu pekerjaan. Mengerjakan banyak hal juga membuat kehidupan terasa lebih bermakna.
Namun, yang salah adalah ketika menjadikan kesibukan tersebut menjadi sebuah “culture” yang bisa mengganggu aktivitas dan kebutuhan pokok kita sehari-harinya.
Dalam penerapannya, kesadaran diri untuk hidup tidak berat sebelah merupakan sesuatu yang sangat penting. Di antaranya, yang pertama kita harus sadar bahwa kesehatan itu di atas segalanya. Kesehatan merupakan rahmat Tuhan yang harus dijaga.
ADVERTISEMENT
Ketika sehat kita bisa melakukan apa pun yang kita mau dengan baik dan maksimal, kita juga bisa menikmati apa pun yang kita mau tanpa ada pantangan atau halangan.
Ilustrasi perempuan hadapi kesibukan kerja yang padat. Foto: Shutterstock
Yang kedua, harus selalu ingat bahwa kita adalah manusia, bukan robot yang terus-menerus dipaksa untuk bekerja tanpa diberi istirahat. Setiap manusia memiliki waktu dan porsinya sendiri.
Tidak perlu merasa bahwa pencapaian orang lain adalah kegagalan bagi diri sendiri karena tidak akan pernah ada habisnya jika kita selalu membandingkan diri kita dengan orang lain.
Yang ketiga, jika ingin tetap produktif dimanapun kapanpun, cobalah untuk mulai mencari hobi seperti olahraga, menjahit, mengikuti kelas-kelas online, mengikuti klub-klub atau komunitas sepeda supaya kita tidak terpaku pada pekerjaan dan tentunya tetap produktif.
ADVERTISEMENT
Segala aspek kehidupan harus berjalan dengan seimbang untuk kehidupan yang bahagia. Diperlukan pemikiran yang sehat serta kebiasaan baik untuk mencapai keseimbangan hidup.
Memiliki gaya hidup yang salah justru akan menjerumuskan kita pada kerugian. Bagaimanapun yang berlebihan itu tidak baik dan sesungguhnya yang paling mengetahui baik-buruk kita adalah diri sendiri.