Sejarah Peradilan Agama dimasa Pendudukan Belanda

Muhammad Luthfi Permana
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
6 Mei 2024 8:06 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Luthfi Permana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Source Image: pexels.com/katrin bolovtsova
zoom-in-whitePerbesar
Source Image: pexels.com/katrin bolovtsova
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sebelum Belanda melancarkan politik hukum terhadap Islam di Indonesia, Islam mendapat tempat di dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat muslim di belahan Nusantara. Islam menjadi pilihan masyarakat karena secara teologis ajarannya memberikan keyakinan dan kedamaian bagi pengikutnya. Masyarakat pada masa itu dengan rela, patuh, dan tunduk mengikuti ajaran-ajaran Islam dalam berbagai dimensi kehidupan. Namun, keadaan tersebut kemudian menjadi terganggu dengan munculnya kolonialisme barat yang membawa misi mulai dari misi dagang, politik, bahkan Kristenisasi.
ADVERTISEMENT
Sebelum Belanda masuk ke Nusantara, sistem politik sudah tertata, seperti hukum Islam yang sudah ada dan sudah dijalankan oleh masyarakat Nusantara. Setelah Belanda menguasai Nusantara, sistem yang sudah ada mulai dijajah dengan sistem Barat yang dibawa Belanda, di antaranya dibuatlah peraturan-peraturan yang melenceng dari aturan Islam.

A. Sejarah Penetapan Staatsblad 1937 No.116

Dimulai dari usaha dan cara yang gigih serta sistematis, akhirnya pemerintah Belanda berhasil mengubah dan mengganti teori reception in complex, yang terdapat dalam pasal 78 ayat (2) dan 109 RR (stbl. No. 2) yang kemudian menjadi pasal 134 (2) IS, dengan teori receptie. Bersamaan dengan perubahan nama Undang-Undang Dasar Hindia Belanda, dari RR menjadi Indishe Staatsregeling (IS) pada 1919, melalui Staatsblad 1929 No. 221, pasal 134 ayat (2) yang baru berbunyi: "dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila keadaan tersebut telah diterima oleh hukum adat dan sejauh tidak ditentukan lain oleh ordonantie". Arti pasal ini adalah hukum Islam baru berlaku seandainya telah diresepsi oleh hukum adat.
ADVERTISEMENT
Perubahan tersebut mempunyai konsekuesi yang tidak menguntungkan perkembangan hukum Islam, khususnya sejak perubahan pasal 134. Perubahan tersebut membuat wewenang peradilan agama di Jawa dan Madura diperkecil serta dibatasi pada hukum perkawinan saja. Sedangkan perkara waris dialihkan ke pengadilan umum lewat Staatsblad 1937 No. 116 dan 610. Sementara di Kalimantan Selatan didirikan Kerapatan Qadli dan Kerapatan Qadli Besar melalui Staatsblad 1937 No. 638 dan 639 yang wewenangnya sama seperti di Jawa dan Madura.
Pada 1922, pemerintah Belanda membentuk sebuah komisi untuk meninjau ulang wewenang Pengadilan Agama, atau yang mereka sebut priesterrad atau raad agama, di Jawa dan Madura, yang semenjak 1882 memiliki wewenang menangani masalah perkawinan, kewarisan, dan wakaf. Komisi tersebut dipimpin oleh P.A. Hoesein Djajaningrat. Tugas komisi tersebut adalah memberi rekomendasi kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk meninjau kembali wewenang Pengadilan Agama. Alasan peninjauan hukum kewarisan karena belum diterima oleh hukum adat. Melalui pasal 2 ayat (1) Staatsblad 1937 No. 116, wewenang mengadili perkara waris dicabut. Menurut Hazairin, sebagaimana dikutip oleh Daud Ali, berdasarkan Staatsblad 1937 No. 116, pemerintah Belanda menghalangi dan menghentikan usaha kerajaan Islam di Jawa untuk menyebarkan hukum Islam sejak 1 April 1937.
ADVERTISEMENT

B. Dasar Ditetapkannya Staatsblad 1937 No.116

Berdasarkan pengamatan Daniel S. Lev, yang menjadi penggerak di balik usaha mengubah wewenang Pengadilan Agama adalah Ter Haar, para peminat ahli hukum adat dari Sekolah Tinggi Hukum (RHS) Jakarta (Batavia) dan van Vollenhoven di Leiden. Hoven dan Ter Haar menguasai politik hukum Belanda pada bagian pertama abad ke-20 dan berhasil meletakkan dasar pengembangan hukum adat serta menarik simpati orang Belanda yang tidak senang kepada Islam.
Kedua ahli hukum adat tersebut mengemukakan dalih bahwa dalam keyataannya, hukum Islam tidak mendalam pengaruhnya pada aturan-aturan kewarisan di Jawa dan bagian Indonesia yang lain. Hukum Islam mengenai waris, menurut mereka, sangat sedikit hubungannya dengan rasa keadilan hukum masyarakat Indonesia karena hukum Islam mengenai kewarisan bersifat individual, sedangkan hukum kewarisan adat bersifat komunal. Hukum Islam mengenai kewarisan belum sepenuhnya diterima hukum adat atau diterima adat Jawa. Wewenang untuk meng- adili soal waris selama ini berada di Pengadilan Agama di Jawa dan Madura, kemudian diserahkan kepada Landraad (pengadilan negeri) yang mengadili berdasarkan hukum adat yang sesuai dengan perasaan keadilan hukum masyarakat setempat.
ADVERTISEMENT
Secara argumentatif, Ter Haar mengajukan serangkaian pemikiran, mengapa kompetensi Pengadilan Agama perlu disederhanakan, yakni:
Argumentasi tersebut kemudian mendapat tanggapan serius dari pemerintah kolonial Belanda untuk membatasi serta mengurangi kompetensi peradilan agama. Alasan inilah yang menyebabkan lahirnya Staatsblad 1937 Nomor 116 yang mengatur kompetensi peradilan agama dalam bidang-bidang berikut:
1. Perselisihan antara suami-istri yang beragama Islam.
2. Perkara-perkara tentang nikah, talak, rujuk, dan perceraian antara orang-orang yang beragama Islam yang memerlukan perantara hakim agama Islam.
ADVERTISEMENT
3. Memberi putusan perceraian.
4. Perkara mahar (mas kawin), sudah termasuk muƄah.
5. Perkara tentang keperluan kehidupan suami-istri yang wajib diadakan oleh suami.
Dengan diberlakukannya Staatsblad 1933 Nomor 74 terhadap penduduk pribumi yang beragama Nasrani, jelas teori receptie yang diberlakukan terhadap orang Islam dilaksanakan tidak adil dan konsekuen sebab tidak dapat diketahui dengan pasti apakah hukum Nasrani itu sudah diterima dengan ikhlas dan menjadi hukum adat. Penggunaan teori receptie oleh pemerintah Belanda dengan mengenyampingkan hukum Islam dan memakai hukum adat bertujuan untuk melemahkan kedudukan hukum Islam. Tidak hanya di bidang hukum, dalam pendidikan Islam juga, menurut Army Vandenbosch, terjadi diskriminasi.
Usaha untuk meredusir berlakunya hukum Islam melalui wewenang Pengadilan Agama (Staatsblad 1937 No. 116) dipengaruhi oleh semakin kuatnya pendapat di kalangan politikus dan akademisi Belanda bahwa masalah perkawinan dan warisan adalah masalah negara. Prof. H.J. Nauta, misalnya, menulis dalam surat kabar Nieuwe Rotterdamsche Courant pada 27 Juli 1937 bahwa agama Islam boleh dianggap sebagai negara dalam negara (staat in den staat) karena dalam pandangan Barat, pengaturan hubungan dimensi horizontal antara manusia, seperti perkawinan dan warisan, adalah masalah dan kewenangan negara, bukan agama.
ADVERTISEMENT
Faktor Utama Terbentuknya Staatsblad (1882-1937) Pada mulanya, pemerintah Belanda tidak ingin mencampuri organisasi Pengadilan Agama. Tetapi, pada 1882 dikeluarkan penetapan Raja Belanda yang dimuat dalam staatsblad 1882 nomor 152 yang mengatur bahwa Pengadilan Agama di Indonesia (PADI) di Jawa dan Madura dilaksanakan di Pengadilan Agama yang dinamakan priestrrad. Menurut Notosusanto (1963: 6), penamaan tersebut sebenarnya keliru karena dalam agama Islam tidak dikenal pranata pendetaan atau padre. Kekeliruan itu dikecam oleh Snouck Hurgronje (1973: 21) yang menyatakan bahwa hal itu sebagai akibat kedangkalan pengetahuan pemerintah.
Kebijakan untuk tidak mencampuri urusan agama sebenarnya hanya persoalan tameng waktu yang strategis karena pemerintah Hindia Belanda belum berani mencampuri masalah Islam sehingga mereka belum mempunyai kebijakan yang jelas mengenai ini. Selain pertimbangan waktu, pemerintahan Belanda saat itu belum memiliki pengetahuan mengenai Islam dan bahasa Arab juga belum mengetahui sistem sosial Islam. Keengganan untuk mencampuri masalah Islam tercermin dalam Undang-Undang Hindia Belanda ayat 119 RR yang berbunyi, "Setiap warga negara bebas menganut pendapat agamanya, tidak kehilangan perlindungan ma- syarakat dan anggotanya atas pelanggaran peraturan umum hukum'agama".
ADVERTISEMENT

C. Pendapat Para Ahli Hukum

Pada saat itu, berkembang pendapat di kalangan ahli hukum Belanda yang menyatakan bahwa di Indonesia berlaku hukum Islam (Mohammadansche Recht) walaupun terdapat penyimpangan-penyimpangan. Pandangan tersebut dikuatkan oleh Salomon Keyzer (1823-1868), Lodwijk Willem Charstian van den Berg (1845-1927), serta Carel Frederik Winter (1799-1859) yang menegaskan bahwa hukum mengikuti agama yang dianut seseorang, jika orang itu beragama Islam, hukum Islam yang berlaku baginya.
Menindaklanjuti pendapat tersebut, pada 1884 Berg menulis asas-asas hukum Islam (Mohammadansche Recht) menurut mazhab Hanafi dan Syafi'i untuk memudahkan para pejabat pemerintah Hindia Belanda dalam merespons kepetingan hukum Islam masyarakat Jawa. Berselang delapan tahun (1892), terbit pula tulisannya mengenai hukum keluarga serta kewarisan Islam di Jawa dan Madura dengan beberapa penyimpangan. Van den Berg menyatakan bahwa bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam karena dia telah memeluk agama Islam. Walaupun dalam realitas pengamalannya sering terdapat penyimpangan-penyimpangan dari ajaran pokok Islam. Dengan karya-karya tersebut, Berg mengupayakan agar hukum Islam dijalankan oleh hakim-hakim dari Belanda dengan bantuan penghulu atau qadli-qadli Islam.
ADVERTISEMENT
Dikarenakan pendapat dan karyanya tersebut, Berg disebut sebagai penemu teori receptio in complexu. Walaupun demikian, Belanda merasa perlu memberlakukan hukum Barat (Belanda) untuk semua penduduk, termasuk golongan Bumiputra, yang terkenal dengan teori unifikasi hukum. Akan tetapi, kebijakan tersebut dianggap kurang strategis untuk menghentikan pemberlakuan hukum Islam. Unifikasi tersebut pun digagalkan oleh ahli hukum Belanda yang dipelopori Christian Snouck Hurgronje.
Menurut Snouck, lebih baik mencari jalan lain yang lebih halus dari pada memaksakan hukum Barat (Belanda) karena akan semakin membangun kebencian warga Indonesia dan dinilai kurang efektif. Oleh sebab itu, langkah yang diambil bukan memaksakan hukum Belanda, melainkan membentuk opini serta memengaruhi dan mengacaukan image umat Islam terlebih dahulu dengan melahirkan teori receptie yang sengaja dihembuskan untuk mengacaukan sistem hukum yang telah ditaati masyarakat ketika itu, yakni hukum Islam.
ADVERTISEMENT
The ultime goal mereka adalah agar antara adat, hukum Islam, dan hukum Barat terjadi benturan. Jika pergumulan terjadi, hukum Belanda yang telah didukung oleh kekuatan politik dan sarjana hukum didikan Belanda yang loyal terhadap produk hukum Belanda menjadi menguat. Sementara hukum Islam dengan sendirinya akan lemah. Usaha tersebut ternyata efektif dan berhasil sehingga sampai sekarang pun hukum Islam berada dalam ketidakberuntungan.

E. Teori Hukum

Perbedaan pendapat di antara para tokoh hukum memunculkan teori-teori hukum yang ada di Indonesia, yaitu:
ADVERTISEMENT
Daftar Pustaka
Rosadi, Aden. (2018). Perkembangan Peradilan Islam diindonesia. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Ahmad, R. (2015). Peradilan Agama diindonesia. Jurnal : Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam, 6(2), 324-326.